Pejabat dengan Penjahat, secara fonemik hanya berbeda
pada: n & b. Meski demikian, secara semantik / maknawi, sangat jauh
berbeda. Bandingkan misalnya dengan kata ‘dinding’ dengan ‘dondong’. Dalam
konteks pergaulan bernegara, perbedaan itu terkadang nyaris hilang. Sepuluh
tahun terakhir, saya kesulitan membedakan mana pejabat, mana pula penjahat.
Menghitung pejabat yang penjahat, dan atau
sebaliknya, sama saja dengan beranjangsana ke
lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Kaki lempoh, ngitungnya belum rampung. Saya tak
bermaksud menuduh, apa lagi buruk sangka. Di antara sekian pejabat yang
penjahat, ada sosok lain: pejabat yang sangat familier menjadi sahabat.
Hampir setiap pagi saya bertegur sapa dengan
pejabat yang baru sekitar 3 bulan berkenan menjadi sahabat saya. Karena
kemajuan teknologi, cukup melalui SMS, kadang juga telepon. Saya selalu
mengincar aktifitasnya. Saya berharap, ada materi yang bisa dirakit menjadi
berita menarik.
Sahabat saya yang satu ini, sebenarnya tidak
memiliki kewenangan teknis. Sebagai salah satu elemen apartur negara, dia
seorang kepala wilyah yang dipercaya mengkoordinir 11 desa. Teta pi ediaan......
berbekal sejumput idealisme, dia gigih membuat ‘mesin penghancur kemiskinan’.
Fantastik, dan cederung mengundang gelak
ketawa. Pengabdiannya di dunia pemerintahan terhitung belum lama, baru kurang
lebih 20 tahun. Saat bertugas di kecamatan Ponjong, Gunungkidul, dia mencoba
mempersuai warga untuk membuka warung makan ikan bakar.
Kepada para kolega, warung makan ikan bakar
itu dia promosikan. “Silakan datang di Warung makan ikan bakar DUL LEPEN,
kawasan Ponjong. Sebut nama saya, makan di sana, dijamin nasi tidak dihitung,”
kata sahabat saya dengan wajah tanpa beban.
Giliran sebuah rombongan membuktikan,
kondisinya berbeda. Dan kepala rombongan pun protes. “Kamu bohong, saya dan
anak buah makan nasi di sana, tetap suruh bayar. Sialan.” Sahabat saya menjawab
kalem, “Siapa bilang gak bayar? Makan nasi di sana tidak dihitung. Apa kata
saya salah?” Ha ha ha........ kepala rombongan itu pun ketawa ngakak sambil
menepuk-nepuk pundak sahabat saya.
Di Ponjong, sahabat saya berhasil mensuport 16
rumah makan ikan bakar. Di Kecamatan Patuk, Gunungkidul, dia menggunakan jurus
yang sama dengan materi berbeda. Dia rajin berkoordinasi dengan 11 Kepala
Bagian Kesejahteraan Rakyat, 11 Ketua Tim Penggerak PKK, 72 Dukuh, 129 RW serta
325 RT, dalam rangka membina KK miskin yang berjumlah 3.982 untuk bangkit
menjadi KK mandiri.
Dipersiapkan sekurang-kuranya 548 personil,
sebanding dengan tokoh yang dia ajak komunikasi saban ada kesempatan pertemuan
untuk menjadi ‘mesin penghancur kemiskinan’. Siapa sesungguhnya sahabat ini?
Tidak lain, dia adalah Raden Haryo Ambar Suwardi, SH, Msi, camat Patuk, Kabupaten Gungkidul.
Ambar adalah sosok pejabat yang pintar
bermimikri. Dia suka bergaul dengan segenap lapisan masyarakat tanpa membedakan
kaya miskin, tua muda, cantik ataupun jelek. “Berama rakyat, Insya Allah,
kemiskinan bisa diatasi,” kata sahabat saya, di pendopo Kecamatan Patuk, pagi
ini Senin 30/12/2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar