Selasa, 26 Agustus 2014

GODAAN TERBERAT PENARI TAYUB



Sri Subekti, Penari Tayub dari Badongan, Karangsari, Kecmatan Semin, Gunungkidul



Isna L Fitri, pengamat tayub menulis,  tayub mulai dikenal sejak Kerajaan Singosari. Pertama kali digelar pada saat jumenengan Prabu Tunggul Ametung. Berikutnya tayub berkembang ke Kerajaan Kediri dan Mojopahit.

Pada massa Kerajaan Demak, kesenian tayub jarang dipentaskan, tetapi masih  bisa dijumpai di pedesaan yang jauh dari pusat kota kerajaan.

Sri Subekti (35), penari tayub asal padukuhan Badongan, desa Karangsari, kecamatan Semin membenarkan, seni yang dia geluti selama belasan tahun memang subur di wilayah pedesaan.

“Saya menjadi penari tayub karena diajari ibu. Sementara Gunem (60), ibu saya dilatih oleh nenek,” kata Sri Subekti sembari sibuk merias diri jelang pentas, di panggung upacara rasulan (bersih desa).

Purwati (37), penari pasangan Sri subekti pun menyatakan hal yang sama. Dia fasih menari berkat Tarkini, ibunya.

Menurut Sri Subekti, manggung sebagai penari tayub bisa dibilang gampang-gampang sulit.

Selama delapan belas tahun Sri Subekti bergabung dengan paguyuban tayub Lebdo Rini, Badongan, Karangsari, Semin, banyak suka ketimbang duka.

“Saya sempat memperoleh rejeki lumayan,” ungkapnya tanpa menyebut besarnya pendapatan.

Tetapi yang menyedihkan, lanjut Sri Subekti, saat nayub kemudian ketemu pngibing (penywer) yang memanfaatkan 3C : colek, cium dan ciu. Ini resiko besar yang bikin bulu kuduk merinding.