Sri Subekti, Penari Tayub dari Badongan, Karangsari, Kecmatan Semin, Gunungkidul |
Isna L Fitri, pengamat tayub menulis, tayub mulai dikenal sejak Kerajaan Singosari.
Pertama kali digelar pada saat jumenengan Prabu Tunggul Ametung. Berikutnya tayub
berkembang ke Kerajaan Kediri dan Mojopahit.
Pada massa Kerajaan Demak, kesenian tayub jarang
dipentaskan, tetapi masih bisa dijumpai
di pedesaan yang jauh dari pusat kota kerajaan.
Sri Subekti (35), penari tayub asal padukuhan
Badongan, desa Karangsari, kecamatan Semin membenarkan, seni yang dia geluti
selama belasan tahun memang subur di wilayah pedesaan.
“Saya menjadi penari tayub karena diajari ibu.
Sementara Gunem (60), ibu saya dilatih oleh nenek,” kata Sri Subekti sembari
sibuk merias diri jelang pentas, di panggung upacara rasulan (bersih desa).
Purwati (37), penari pasangan Sri subekti pun
menyatakan hal yang sama. Dia fasih menari berkat Tarkini, ibunya.
Menurut Sri Subekti, manggung sebagai penari tayub
bisa dibilang gampang-gampang sulit.
Selama delapan belas tahun Sri Subekti bergabung
dengan paguyuban tayub Lebdo Rini, Badongan, Karangsari, Semin, banyak suka
ketimbang duka.
“Saya sempat memperoleh rejeki lumayan,” ungkapnya
tanpa menyebut besarnya pendapatan.
Tetapi yang menyedihkan, lanjut Sri Subekti, saat nayub
kemudian ketemu pngibing (penywer) yang memanfaatkan 3C : colek, cium dan ciu.
Ini resiko besar yang bikin bulu kuduk merinding.